Hukum Adat Rejang, Perkuat Eksistansi Kebudayaan Rejang

Tulisan ini merupakan sinopsis dari artikel yang ditulisan Emong Soewandi, dalam Orasi Kebudayaan disampaikan di Seminar Sosok Kepahlawanan Prof. Dr. Abdullah Siddik, SH, di Civitas Akademika IAIN Curup, 16 November 2022. Diberi judul ABDULLAH SIDDIK: SEMANGAT MENJAGA MARWAH TANAH REJANG.

Pada Orasi Kebudayaan di sampikan Emong Soewandi, dua buku dianggab paling berwibawa dalam perjalanan Rejang yakni De Rejang karya Hazairin dan Hukum Adat Rejang Abdullah Siddik.

Sayangnya, banyak orang yang menyebut-nyebut kebesaran Hazairin dengan De Rejang-nya, tanpa pernah utuh membacanya. Saat ini De Rejang lebih akrab di kalangan akademik, terutama di kalangan sarjana hukum adat, tetapi sebaliknya, kurang dikenal oleh masyarakat umum.

Terbit di tahun 1936 De Rejang masih menjadi karya yang "berat", susah di fahami oleh publik umum. Karena masih berbahasa Belanda, belum pernah ada buku terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sudah barang tentu orang yang akan mempelajari hukum serta adat istiadat Rejang tempo itu, harus bisa  berbahasa belanda.

Fakta lain mengatakan, buku tersebut susah untuk di dapatkan, karena dicetak dengan jumlah terbatas (tidak banyak,red). De Rejang salah satu buku yang langka, karena tidak akan dijumpai di toko-toko buku, kecuali koleksi perpustakaan nasional.

Apakah tidak ada buku-buku lain yang berbicara tentang Rejang? Secara apriori ada, tetapi dalam bentuk jurnal-jurnal ilmiah, karya-karya akademik hanya tersimpan di perpustakaan internal perguruan tinggi-perguruan tinggi, tidak bisa bebas diakses oleh masyarakat umum. 

Selain itu masih ada karya ditulis sarjana Eropa, serta laporan-laporan berupa artikel di tulis oleh pejabat atau oarang-orang Hindia Belanda yang saat itu ada, terkait hukum, adat atau kebudayaan Rejang. Semunya berbahasa asing dan langka serta lagi-lagi tidak dapat diakses oleh masyarakat umum.

Selain buku, ada jurnal-jurnal, artikel dan laporan. Ada beberapa tambo yang ada di Tanah Rejang. Setiap dusun, marga, bahkan keluarga punya tambonya masing-masing. 

Salah satu tambo yang cukup populer adalah Tembo Adat Rejang Tiang IV yang disusun oleh Mohammad Hoesein. Namun, tidak mudah tambo-tembo ini untuk dibaca oleh masyarakat. Karena “hanya satu-satunya”, tidak dibukukan, serta beberapa pandangan mistis dan konservatif telah menghalangi banyak orang dapat mengakses tambo-tambo tersebut.

Baca juga :Peran 5 Tokoh Pejuang Bengkulu, Layak Dianugrahi Gelar Pahlawan Nasional

Terbitkannya buku Hukum Adat Rejang oleh Abdullah Siddik pada tahun 1981, membuka mata orang-orang Rejang selama hampir setengah abad, secara umum belum mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang kebudayaannya sendiri, karena belum ada buku babonnya.

Terbitnya Hukum Adat Rejang, sebuah fajar baru bagi orang Rejang dalam melihat dirinya. Ditulis dengan bahasa nasional, mudah dipahami semua orang Indonesia. Karya anak Rejang besar di Kepahiang ini, menjangkau semua lapisan masyarakat.

Tidak lah berlebihan bila buku karya Abbdullah Siddik ini, telah membuka cakrawala baru orang-orang di Tanah Rejang mendiskusikan kebudayaannya.

Lahirnya Hukum Adat Rejang telah memberikan kesadaran baru bagi orang Rejang untuk kembali peduli dengan kebudayaannya. Buku ini telah menjadi trigger (pemicu,red) penting bagi orang-orang Rejang untuk kembali secara hangat berdiskusi tentang perjalanan dan kehidupan mereka. 

Hukum Adat Rejang adalah ekspektasi kerinduan orang Rejang terhadap sebuah babon yang bisa mempertegas bahwa orang Rejang memang benar-benar memiliki kebudayaan. Sebuah babon atau teksbook yang membuat orang-orang Rejang menemukan kata sepakat tentang sejarah mereka yang lama terpendam.

Buku karangan Prof DR Abbdulah Sidik, SH berjudul Hukum Adat Rejang dalam pendahuluaan buku yang ia tulis mengatakan, “sebagai sumbangan saya supaya generasi muda mengenal pusaka yang sangat berharga dari nenek moyangnya”.

Baca juga: PKBHB Surati TP2GD,  5 Tokoh Bengkulu Layak Dianugrahi Gelar Pahlawan Nasional 

Buku terbitakan tahun 1981 ini merupakan bentuk keprihatinan dan kepedulian Abdullah Siddik terhadap Rejang. Dari penjelasan tulisan diatas yang melansir tulisan Emong Soewandi, pada Orasi Kebudayaannnya. Tidak lah berlebihan apa bila ada keprihatinan dan kepedulian Abdullah Siddik terhadap Rejang, sehingga lahirnya Buku Hukum Adat Rejang ini.

Pada kenyataannya, banyak orang Rejang baru tahu dengan kisah Empat Petulai setelah membaca buku Abdullah Siddik itu. Banyak orang Rejang semakin memahami mereka berasal dari simpul yang sama karena membaca Hukum Adat Rejang.

 Masyarakat bisa mengenal mitologi Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo dan Biku Bermano melalui Hukum Adat Rejang. Ditulis menggunakan bahasa persatuan bahasa Indonesia, maka Abdullah Siddik pun telah mengenalkan Rejang hingga keluar dari wilayah orang-orang yang berbahasa Rejang.

Salah satunya karya Abdullah Siddik adalah beliau telah menemukan titik kompromi terhadap silsilah orang-orang Rejang yang terserak di Rejang Lebong, Kepahiang, Lebong dan Bengkulu Utara. 

Dengan adanya titik kompromi ini, Abdullah Siddik telah memunculkan sebuah Kronik Agung Empat Petulai, yang bisa diterima oleh banyak orang Rejang sebagai cikal bakal mereka hari ini di Lebong, Musi Ulu, Kepahiang dan Pesisir.

Tak ada gading yang tak retak, ada bagian-bagian tertentu ditulis Abdullah Siddik dalam Hukum Adat Rejang masih memerlukan koreksi. Emong Soewandi mencatat ada beberapa kekeliruan peristiwa di dalam buku beliau. Di Buku Kepahiang Di Lintas Waktu, saya mencoba meluruskan kekeliruan itu dengan data-data yang lebih faktual. 

Dia telah melakukan apa yang bisa ia perbuat bagi Indonesia sebagai wujud patriotisme dirinya. Namun, dengan semua yang telah beliau lakukan dan perbuat, menjadi kewajiban bagi kita untuk menghormatinya dengan memberikannya kehormatan yang abadi.(**)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran 5 Tokoh Pejuang Bengkulu, Layak Dianugrahi Gelar Pahlawan Nasional

Nostalgia ke SD 09 BS, Gubernur: Tanam Pohon Serahkan Kotak Sampah, Peralatan Olahraga dan 10 Unit Laptop